Makna Hadits "Semua Bid'ah Adalah Sesat" (Bagian Pertama)



Sebagian orang ada yang mengatakan kalau memang bid’ah itu terbagi dua: bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah, lalu bagaimana dengan hadits Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam yang secara tegas mengatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat. Bukankah pembagian bid’ah semacam itu bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tersebut?

Sebelum uraian perihal makna hadits “Semua bid’ah adalah sesat” disampaikan, sebaiknya kita simak terlebih dahulu bunyi hadits tersebut.

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍِ، اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اَلاَ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ شَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍِ بِدْعَةٌُ وَكُلُّ بِدْعَةٍِ ضَلاَلَةٌُ


Artinya: Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ingatlah, berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal yang baru. Karena perkara yang paling jelek adalah membuat-buat hal baru dalam masalah agama. Dan setiap perbuatan baru yang dibuat itu adalah bid’ah. Dan sesungguhnya semua bid’ah itu adalah sesat.” [1]

Perlu diingat bahwa untuk memahami al-Qur’an ataupun al-Hadits, tidak bisa dilihat hanya secara parsial atau hanya dengan melihat arti lahiriah dari sebuah teks saja. Agar makna yang terkandung dalam sebuah teks bisa dipahami dengan baik dibutuhkan penelitian dari sejumlah aspek, misalnya dari segi Nahwu, Sharf, Balaghah, Mantiq, dan sebagainya, termasuk di dalamnya hal yang terkait dengan kondisi masyarakat ketika ayat atau hadits tersebut diturunkan.

Dalam kaitannya dengan hadist di atas, para ulama Ahlussunnah wal Jama'ah berpendapat bahwa “Semua bid’ah adalah sesat”, merupakan kata-kata umum yang jangkauannya harus dibatasi (‘ammun makhshush). Al-Imam al-Nawawi rahimahullah, seorang ulama terkemuka Ahlussunnah wal-Jama’ah berkata tentang hadits ini:

قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكُلُّ بِدْعَةٍِ ضَلاَلَةٌُ هَذَا عَامٌّ مَخْصُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَاعِ

Artinya: “Sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, ‘Semua bid’ah adalah sesat’, adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud ‘semua bid’ah adalah sesat’, adalah sebagian besar bid’ah adalah sesat, bukan seluruhnya.” [2]

Dalam uraiannya di atas, al-Imam al-Nawawi rahimahullah jelas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadits di atas adalah sebagian besar dari bid’ah itu adalah sesat, bukan seluruhnya. Mengapa? Karena ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “semua bid’ah adalah sesat” merupakan kata-kata umum yang harus dibatasi jangkauannya. Itulah sebabnya para ulama membagi bid’ah menjadi dua: bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Bahkan sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, ada ulama yang membagi bid’ah ke dalam lima bagian, sesuai dengan jumlah hukum Islam yang lima.

Lalu bagaimana dengan kata kullu yang dipergunakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas. Bukankah secara tekstual kata kullu bermakna seluruh atau semua?

Selintas memang demikian. Namun perlu dietahui bahwa tidak semua kata kullu selamanya berarti semua atau seluruh. Ada kalanya kullu berarti sebagian. Simaklah beberapa contoh berikut ini:

Di dalam al-Qur’an Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلاَ يُؤْمِنُوْنَ

Artinya: Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? [3]

Coba perhatikan ayat di atas. Di dalamnya Allah subhanahu wa ta’ala menggunakan kata kullu, namun tidak berarti semua benda yang ada di dunia ini diciptakan dari air. Salah satu buktinya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ

Artinya: Dan Dia menciptakan jin dari nyala api. [4]

Contoh lainnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَكَانَ وَرَاءَ هُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبًا

Artinya: Karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. [5]

Pada ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala pun menggunakan kata kullu untuk menjelaskan peristiwa yang dialami oleh Nabi Musa ‘alaihis salam dan Nabi Khidhir ‘alaihis salam. Kalau kita membaca ayat ini secara utuh di dalam al-Qur’an akan kita peroleh informasi tentang kisah Nabi Musa alaihis salam dan Nabi Khidhir ‘alaihis salam. yang sedang berhadapan dengan seorang raja zalim yang suka merampas perahu-perahu bagus yang dilihatnya. Raja itu hanya mengambil perahu-perahu yang masih bagus, dan membiarkan perahu-perahu yang sudah terlihat jelek.

Meskipun di dalam ayat ini digunakan kata kullu, namun ternyata raja zalim itu tidak mengambil semua perahu. Hanya yang masih bagus saja yang diambil olehnya. Hal ini memperlihatkan bahwa kullu pada ayat itu tidak bisa diartikan keseluruhan, namun yang tepat adalah sebagian saja.

Dengan bahasa yang agak berbeda, sebagian ulama mengatakan bahwa hadits “semua bid’ah adalah sesat” merupakan hadits umum yang sudah di-takhsish (dikecualikan/dikhususkan). Kalau kita amati ada banyak ayat al-Qur’an maupun Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum kemudian ditakhsish. Beberapa contoh akan kami sebutkan di sini:

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِيْنَةَ اللهِ الَّتِيْ أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ

Artinya: Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” [6]

Ayat ini adalah ayat yang bersifat umum. Makna yang terkandung di dalamnya menyatakan bahwa seluruh perhiasan dan seluruh rezki (makanan) yang baik adalah halal bagi kita. Dengan demikian, tidak ada seorang pun yang berhak mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah subhanahu wa ta’ala tersebut. Selintas kesimpulan kita terhadap ayat tersebut adalah seperti itu. Namun perhatikanlah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍِ فِيْ يَدِ رَجُلٍِ فَنَزَعَهُ فَطَرَحَهُ وَقَالَ: يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍِ مِنْ نَارٍِ فَيَجْعَلُهَا فِيْ يَدِهِ

Artinya: Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sebuah cincin emas berada di jari seorang lelaki, maka beliau lepaskan cincin itu dan membuangnya seraya bersabda, “Mengambil seseorang darimu sepotong api dan ia letakkan di tangannya.” [7]

Pada hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan penggunaan cincin emas bagi seorang lelaki. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan lelaki yang mengenakan cincin emas di jarinya laksana mengambil bara api yang diletakkan di dalam genggamannya. Hadits ini sesungguhnya merupakan takhsish bagi QS. al-A’raf ayat 32 di atas. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa semua perhiasan itu dihalalkan kecuali cincin emas bagi seorang laki-laki.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ

Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai[8]

Ayat ini juga merupakan ayat yang bersifat umum. Di dalamnya diinformasikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada kita bahwa seluruh bangkai itu haram untuk dimakan. Namun perhatikanlah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

سَأَلَ رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيْلَ مِنَ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ مِنَ الْبَحْرِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ

Artinya: Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Rasulullah, kami sedang berlayar di tengah laut sedangkan kami membawa air sedikit. Jika kami gunakan untuk berwudhu, maka kami akan kekurangan air untuk minum. Bolehkah kami menggunakan air laut untuk berwudhu? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Laut itu airnya suci dan bangkainya pun halal.” [9]

Tentunya kita sudah mengetahui bahwa yang dimaksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kalimat “bangkainya pun halal” adalah bangkai ikan. Dengan hadits ini, maka ayat 3 dari surat al-Maidah di atas telah ditakhsish, sehingga maknanya, “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai kecuali bangkai ikan.”



[1] HR Imam Ibnu Majah.
[2] Lihat: Syarh Shahih Muslim, 6/154.
[3] QS. al-Anbiya’ [21]: 30
[4] QS. al-Rahman [55]: 15
[5] QS. al-Kahfi [18]: 79
[6] QS. al-A’raf [7]: 32
[7] HR Imam Muslim.
[8] QS. al-Maidah [5]: 3.
[9] HR Imam at-Tirmidzi.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memberi Makan untuk Orang yang Takziyah

Tradisi Ngapati (Ngupati)

Bacaan Basmalah: Antara Jahr dan Sirr