Makanan Thayyibah dan Terlarang (Bagian Pertama)

Surat Al-Baqarah [2] ayat 172-173:
 
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ (١٧٢) إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ (١٧٣)


a. Makna Mufradat (Kosakata)

طَيِّبَاتِ : Kata thayyibaat merupakan jamak dari thayyibah. Kata dasarnya adalah thaaba, yang secara harfiah diartikan kepada "baik". Al-Isfihani mengatakan, "Pada dasarnya kata thayyib bermakna sesuatu yang dirasakan lezat oleh indra dan jiwa." Akan tetapi, makanan yang baik (ath-tha'am ath-thayyib) menurut syara' berarti sesuatu yang boleh dimakan, baik dari zat, ukuran, maupun tempat. (Lihat: Ar-Raghib Al-Isfihani, Al-Mufradaat fii Ghariib Al-Qur'an, [Beirut: Dar Al-Ma'rifah, 2001], halaman 314).


Hijazi mengartikan kata tahyyibaat dalam ayat ini kepada "sesuatu yang suci dari syubhat".

الْمَيْتَةَ : Kata al-mayyitah berasal dari kata maata yang berarti mati atau diam. Kedua makna ini mempunyai kesamaan arti; mati itu berarti diam dan diam juga berarti mati atau serupa dengan mati, karena sesuatu yang tidak bergerak ada kesamaannya dengan mati. Sebab sesuatu yang mati juga sesuatu yang tidak bergerak. Berdasarkan makna ini, kata mayyitah diartikan pula kepada bangkai, yaitu binatang yang mati dengan tidak disembelih. (Lihat: Jamaluddin Muhammad bin Mukram Ibnu Manzhur, Lisaan Al-'Arab, [Beirut: Dar Al-Fikr, 1990], halaman 92). Inilah makna al-mayyitah secara umum. Akan tetapi, yang dimaksud dengan al-mayyitah dalam ayat ini adalah "binatang yang mati tanpa sembelihan syara'".

وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ : Secara harfiah, al-ihlaal berarti raf'u ash-shaut (mengangkat suara). Pada mulanya, kata tersebut diartikan kepada mengangkat suara ketika melihat bulan. Kemudian ia diartikan kepada mengangkat suara secara mutlak, baik karena melihat bulan ataupun tidak. Ungkapan وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ dalam ayat ini diartikan kepada "menyembelih binatang dengan menyebut selain Allah". Ayat ini menggambarkan kebiasaan orang musyrik ketika menyembelih binatang, mereka mengangkat suara dengan menyebut Lata dan Uzza. (Lihat: Muhammad Ali Ash-Shabuni, Rawaa'i'u Al-Bayan Tafsiir Aayaat Al-Ahkaam min Al-Qur'aan Al-Kariim, [Damaskus: Dar Al-Qalam, 1990], Jilid I, halaman 33).

بَاغٍ : Kata بَاغٍ berasal dari kata baghaa, yang berarti mencari kebaikan atau kejahatan. Akan tetapi, dalam ayat ini kata itu berarti berbuat zalim atau mencari kejahatan.

عَادٍ   : Kata ini berasal dari kata 'udwan, yang berarti melampaui batas.

b. Syarah Ayat

Firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ (١٧٢)
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.

Ayat ini mengajarkan kepada orang-orang mukmin agar memakan makanan yang thayyibat, yakni halal, suci, dan disenangi. Sebaliknya, Al-Qur'an melarang orang mukmin memakan makanan yang tidak halal walaupun suci dan menyenangkan, atau sesuatu yang halal dan suci tetapi dapat mendatangkan mudarat kepada orang yang memakannya. Ayat 168 surah Al-Baqarah [2] juga menegaskan:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِي اْلأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّبًا وَلاَ تَتَّبِعُوْا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ (١٦٨)

Hai sekalian manusia, makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan ini musuh yang nyata bagimu.

Makanan yang halal itu merupakan nikmat Allah. Oleh karena itu, orang-orang mukmin diperintahkan untuk mensyukuri nikmat tersebut. Mensyukuri nikmat merupakan bukti kemapanan iman dan ketauhidan terhadap Allah. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa memakan makanan yang halal merupakan syarat terkabulnya doa dan diterimanya ibadah. Demikian pula sebaliknya, memakan makanan yang haram menjadi sebab ditolaknya doa dan ibadah. (Lihat: Imaduddin Abu Al-Fida Isma'il Ibnu Katsir, Tafsiir Al-Qur'aan Al-'Azhiim, Jilid I, halaman 205).

Memakan makanan yang haram bukan hanya perbuatan dosa, tetapi ia dapat pula berdampak terhadap anak atau keturunan pemakannya. Sebab, makanan yang dimakan akan diproses menjadi bibit keturunannya, seperti yang ditegaskan dalam surah Al-Mu'minuun [23] ayat 13 dan 14, yaitu:
 
ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِيْ قَرَارٍ مَكِيْنٍ (١٣) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا... (١٤)

Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging...

Sperma yang menjadi bibit manusia itu berasal dari makanan yang dimakan orangtua calon bayi. Jika makanan itu haram, dan ia menjadi sperma kemudian sperma menjadi janin, maka berarti dalam diri janin itu terdapat unsur yang haram. Hal itu tentu tidak mustahil akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku anak, terlebih lagi jika selanjutnya ia dibesarkan juga dengan makanan yang haram dan tumbuh besar di lingkungan yang kurang menghiraukan norma agama.

Firman Allah:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ  
 
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.

Dalam penggalan ayat di atas dijelaskan bahwa ada empat hal yang haram dikonsumsi oleh orang-orang mukmin, yaitu sebagai berikut:

1. Bangkai, yaitu binatang yang mati bukan dengan sembelihan syara'. Yang dimaksud dengan sembelihan syara' adalah sembelihan yang memenuhi aturan penyembelihan di dalam Islam.

2. Darah. Terdapat banyak jenis darah dalam tubuh seekor binatang, di antaranya darah yang terdapat dalam daging dan dalam tulang. Bahkan hati dan limpa juga termasuk darah. Al-Qur'an hanya mengharamkan darah yang mengalir (damun masfuuh), sebagaimana yang dijelaskan dalam surah Al-An'am [6] ayat 145:



قُلْ لاَ أَجِدُ فِيْ مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوْحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ... (١٤٥)
 

 Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor, atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah..."

Berdasarkan ayat ini, maka darah yang ada dalam tulang dan darah yang menyatu dengan daging yang tidak mungkin dihilangkan tidaklah diharamkan, karena ia tidak termasuk darah yang mengalir.

Itulah ketentuan mengenai bangkai dan darah. Nabi Saw dalam sabdanya dengan tegas menjelaskan ada dua jenis darah dan bangkai yang tidak termasuk dalam kategori yang diharamkan, yaitu bangkai ikan, bangkai belalang, hati dan limpa. Hadits itu adalah:



أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوْتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ 
 

 Dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah: bangkai ikan, bangkai belalang, hati dan limpa. (HR Ahmad).

3. Daging babi. Dalam ayat di atas disebutkan daging babi (lahm al-khinziir), tetapi yang dimaksud tidak hanya daging saja. Larangan tersebut mencakup seluruh bagian tubuh babi.

4. Binatang yang disembelih bukan atas nama Allah.

Firman Allah:

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Penggalan ayat ini menyatakan pengecualian dari larangan sebelumnya. Awal ayat ini menegaskan bahwa Allah mengharamkan bangkai, darah, dan babi serta binatang yang disembelih bukan atas nama Allah. Akan tetapi, jika ada orang dalam keadaan sulit, makanan halal tidak ada dan apabila ia tidak makan akan berakibat mati kelaparan, maka ia boleh memakan bangkai sekedar untuk menyelamatkan jiwanya dari ancaman kematian. Hal inilah yang diisyaratkan oleh ayat "ghaira baaghin walaa 'aadin" (tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas).
   
    












Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memberi Makan untuk Orang yang Takziyah

Tradisi Ngapati (Ngupati)

Bacaan Basmalah: Antara Jahr dan Sirr