Hukum Wanita Haid Masuk Masjid
Jumhur ulama empat mazhab, Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah,
Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah, sepakat bahwa wanita yang sedang
mendapatkan darah haidh diharamkan masuk ke dalam masjid.
Dan alasan atas larangan ini sebenarnya bukan lantaran takut darah
itu mengotori masjid. Juga bukan karena wanita yang sedang haidh itu
tidak suci. Namun larangan itu semata-mata karena status wanita yang
sedang haidh itu dalam keadaan janabah atau berhadats besar.
Ketidak-suciannya dalam hal ini bukan karena najisnya, tetapi karena
hadatsnya.
Kita perlu membedakan antara orang terkena najis dengan orang yang
berhadats. Orang terkena najis, asalkan najisnya terbungkus dan tidak
mengalir keluar, maka pada dasarnya dibolehkan masuk masjid. Misalnya
orang luka dan wanita yang dalam keadaan istihadhah. Sementara orang
yang berhadats itu sebenarnya tidak selalu mengandung najis. Misalnya
orang yang melakukan hubungan suami istri, tentu tidak ada najis pada
tubuh mereka. Namun demikian, status orang itu berhadats. Dan oleh
karena itu dilarang masuk ke dalam masjid.
Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa sebab larangan wanita
haidh masuk masjid karena takut darahnya akan mengotori masjid,
dipatahkan dengan dibolehkannya wanita yang sedang istihadhah masuk ke
dalam masjid. Begitu juga orang yang luka berdarah tetapi diperban,
tetap diperbolehkan shalat dan masuk masjid.
Dalil Jumhur Ulama
Setelah kita tahu bahwa haramnya wanita haidh masuk masjid ternyata
adalah sesuatu yang telah disepakati oleh mayorias ulama, maka
pertanyaan kita kemudian adalah apa dalil serta dasar hujjah para ulama
itu?
Dalil atau hujjah yang digunakan para ulama sangat banyak, tidak
bisa semua dituliskan disini. Kita cukupkan pada dalil dari ayat
Al-Quran dan sunnah nabawiyah.
1. Dalil Ayat Al-Quran
Para ulama sepakat menjadikan ayat ke-43 dari surat An-Nisa'
sebagai dalil diharamkannya orang yang berhadats besar masuk ke dalam
masjid, dimana termasuk di dalamnya adalah wanita haidh.
Allah SWT berfirman :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى
تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا
ۚ
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu salat sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub terkecuali sekedar berlalu saja hingga kamu mandi.(QS. An-Nisa' : 43)
Meski pun dzahir ayat ini berupa larangan mendekati shalat buat
orang yang mabuk, namun maksud larangan bagi orang junub pada ayat ini
adalah larangan untuk memasuki tempat shalat, yang dalam hal ini khusus
berlaku hanya untuk masjid.
Hal itu diungkapkan oleh Al-Imam Asy-Syafi'i, dengan beberapa hujjah, antara lain :
a. Sambil Lewat
Pada ayat di atas ada lafadz illa 'abiriy sabilin (إلا عابري سبيل), yaitu kecuali sekedar berlalu saja.
Istilah berlalu tentu tidak tepat kalau dimaknai dengan melalukan
shalat sambil lalu. Tetapi yang paling mendekati logika adalah berjalan
menerobos melalui tempat shalat, yaitu masjid.
Dan makna ini sesuai dengan penjalasan dalam kitab-kitab tafsir
bahwa ada sebagian shahabat Nabi SAW yang akses jalan keluar masuk
rumahnya harus melalui masjid, seperti rumah Ali bin Abi Thalib.
Dengan adanya lafadz : kecuali bila sekedar melintas saja, maka para ulama memberikan pengucualian.
b. Mendekati Shalat
Dalam ayat ini Allah SWT menggunakan lafadz laa taqrabush-shalah
(لا تقربوا الصلاة), yaitu jangan mendekati shalat. Istilah mendekati
shalat ini berbeda dengan mendekati zina. Makna jangan mendekati zina
itu mudah, yaitu jangan membuka aurat, berduaan, berhias yang mencolok
dan hal-hal sejenisnya yang akan menyeret orang ke dalam perzinaan.
Tetapi apa yang dimaksud jangan mendekati shalat? Apakah tidak
boleh melakukan gerakan yang mirip shalat? Ataukah larangan mendekati
orang yang sedang shalat?
Jawabnya yang paling masuk akal adalah larangan untuk mendekati
tempat shalat yaitu masjid, dan bukan larangan menirukan gerakan shalat
atau mendekati orang yang sedang shalat.
c. Shalat Identik Dengan Masjid
Alasannya lainnya adalah bahwa di masa nabi, melakukan shalat itu
identik dengan datang dan masuk ke dalam masjid. Maka ketika ada
larangan untuk masuk ke dalam masjid, bunyi larangannya cukup dengan
lafadz : janganlah kalian mendekati shalat.
2. Sunnah Nabawiyah
Haramnya orang yang berhadats besar masuk ke masjid juga dikuatkan
dengan dalill dari Sunnah Nabawiyah. Di antarnya adalah hadits berikut
ini :
لاَ
اُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلاَ جُنُبٍ
Dari Aisyah radhiyallahuanha berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda ‘Tidak kuhalalkan masjid bagi orang yang junub dan haidh’. (HR. Abu Daud)
Sebagian kalangan ada yang mengatakan bahwa hadits ini dhaif,
sehingga mereka menolak haramnya wanita haidh masuk masjid hanya
semata-mata karena dianggap hadits ini dhaif.
Namun sebagian ulama yang lain tidak sependapat. Karena ternyata
kedhaifan suatu hadits menurut sebagian ulama, tidak lantas menjadikan
hadits itu pasti dhaif. Dan ternyata sebagian ulama lain berpendapat
hadits ini bukan hadits dhaif.
Dalil Pendapat Yang Membolehkan
Adapun pendapat yang membolehkan wanita haidh masuk masjid, juga
banyak. Di antara mereka berhujjah dengan anggapan bahwa hadits yang
melarang wanita haidh masuk masjid dianggap hadits dha'if.
Selain itu juga mereka mendasarkan pendapatnya pada hadits Nabi SAW
membolehkan Aisyah masuk ke masjid meski pun sedang dalam keadaan
haidh. Beliau Saw mengatakan kepada Aisyah radhiallahuanha :
Dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu berkata bahwa ketika
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam sedang berada didalam masjid
beliau berkata: “Hai ‘Aisyah! Ambilkan pakaianku. Aisyah berkata:
Sesungguhnya saya sedang haid. Beliau berkata: Sesungguhnya darah haidmu
bukan di tanganmu. Kemudian Aisyah mengambilkannya.
Mereka berhujjah bahwa Aisyah radhiyallahuanha yang sedang
mendapat haidh ternyata dibolehkan oleh Rasulullah SAW untuk masuk ke
dalam masjid. Kalau seandainya dilarang, maka seharusnya beliau SAW
tidak membiarkan Aisyah masuk ke dalam masjid. Justru malah beliau SAW
memerintahkan Aisyah masuk masjid. Dan itu berarti hadits ini menjadi
hujjah tentang bolehnya wanita haidh masuk ke dalam masjid.
Namun jumhur ulama menjawab, bahwa justru hadits ini tidak bisa
dijadikan hujjah. Karena meski dzahir hadits ini seolah-olah membolehkan
wanita haidh masuk masjid, bukan berarti boleh untuk berdiam lama dan
beri'tikaf. Kalau hanya lewat sekilas, sejak awal jumhur ulama sepakat
membolehkannya. Dan yang dilakukan oleh Aisyah atas perintah Rasulullah
SAW hanya sebatas mengambilkan sesuatu keperluan, tidak untuk masuk
masjid dalam arti berdiam, i'tikaf atau mengikuti majelis taklim dan
pengajian.
Sebagai tambahan, di antara para ulama Wahabi yang berpendapat
bahwa wanita haidh diharamkan masuk masjid adalah namun mufti Kerajaan
Saudi Arabia, Syeikh Abdul Aziz bin Baz dan juga Ibnu Utsaimin. Dua
tokoh besar Wahabi ini sepakat berpendapat bahwa wanita
haidh tetap haram untuk masuk ke dalam masjid, kecuali hanya untuk lewat
atau kebutuhan yang sekilas saja, diantaranya masuk untuk membawakan
kebutuhan tertentu.
Sedangkan kalangan yang membolehkan wanita haidh masuk masjid dan
menetap di dalamnya dalam waktu yang lama antara lain pendapat
tokoh Wahabi lainnya, yakni Al-Albani.
Sedikit catatan, dua ulama Wahabi yaitu Syeikh Bin Baz dan
Al-Utsaimin mengharamkan wanita haidh masuk masjid. Pendapat mereka
berdua nampaknya mengikuti pendapat para fuqaha besar, yaitu pendapat
dari empat mazhab yang muktamad.
Sedangkan Al-Albani dalam masalah ini termasuk kalangan yang
membolehkan wanita haidh masuk masjid. Dalam hal ini pendapatnya
bertentangan dengan pendapat dua ulama besar Wahabi, dan tentu
saja bertentangan dengan pendapat yang muktamad dalam empat mazhab fiqih
yang utama.
Wallahu a'lam
Upload WAG MIBM
BalasHapus